Jumat, 13 Februari 2009

PENGALAMAN TAK TERLUPAKAN DENGAN NOMAD


Suatu hari saya membaca sebuah artikel di media masa tentang sumbangan satu unit pesawat Nomad dari TNI AL untuk Pemerintah Kabupaten Lamongan, konon pesawat tersebut nantinya akan dijadikan tugu hiasan demi mempercantik kota Lamongan. Sesungguhnya bagi saya sebagai seorang warga sipil biasa, ada kenangan tersendiri dengan pesawat ini. Masih terbayang dalam ingatan saya kejadian beberapa tahun silam, ketika itu untuk yang pertama kalinya saya dapat merasakan bagaimana ketangguhan pesawat Nomad TNI AL ini, serta keberanian para crew yang mengawakinya, bahkan boleh dikatakan nekad dengan mendaratkan pesawatnya di atas landasan perintis yang hanya terbuat dari batu karang yang telah diratakan di Pulau terpencil nun jauh disana “Mangole”.

Tidak ada maksud penulis untuk menyudutkan atau mengecilkan arti segenap usaha daripada Bapak-bapak Prajurit Penerbal TNI AL disana, semua penulis ceritakan berdasarkan pengalaman nyata penulis sebagai kenangan untuk dijadikan cerita bagi anak cucu penulis kelak.

Manado, pertengahan tahun 2003

Saat itu saya bekerja sebagai karyawan pada sebuah perusahaan kayu besar di Negeri ini, sebuah perusahaan raksasa milik seorang konglomerat ternama dimana unit-unit perusahaannya tersebar mulai dari wilayah Barat Negeri ini sampai jauh ke wilayah Timur. Sebagai seorang tenaga teknis dibidang kehutanan saya dipercayakan mengelola administrasi pendokumenan kayu di sebuah Camp Logging di pedalaman Pulau Mangole Maluku Utara.

Saat itu saya baru saja selesai melaksanakan cuti tahunan sekalian mengantar istri dan anak pulang kampung ke Bandung. Ketika pulang kembali ke Manado saya hanya seorang diri mengingat istri dan anak tidak ikut serta sebab istri harus mengikuti resepsi pernikahan kakaknya dulu di Bandung yang acaranya sangat mendadak sehingga saya tidak sempat hadir karena masa ijin cuti keburu habis.

Saya berangkat menuju Manado dimana kantor pusat perusahaan saya berada dengan menggunakan pesawat Airlines dari Bandara Soekarno Hatta tujuan Manado. Setibanya di Manado saya melapor ke bagian Personalia dan diarahkan menginap di Mess perusahaan untuk menunggu informasi kapal laut yang akan berlayar tujuan Mangole. Selama ini saya selalu menggunakan jalur Laut menuju Pulau Mangole yaitu lewat pelabuhan Bitung atau pelabuhan Manado dengan menggunakan kapal perintis atau kapal suplai logistik milik perusahaan, tetapi bila dengan pesawat terbang yang terbang langsung ke Mangole belum pernah saya rasakan sebelumnya.

Kebetulan saat itu ada kiriman gaji bulanan karyawan dan spare part untuk kendaraan berat yang harus segera tiba di Camp. Gaji karyawan sudah biasa dikirim menggunakan pesawat tetapi untuk spare part alat berat perusahaan sepertinya tidak mau ambil resiko lagi sehingga lebih memilih mencarter pesawat daripada dikirim via kapal laut perintis yang rentan hilang atau kecelakaan, adapun kapal suplai logistik milik perusahaan yang biasa digunakan mengantar logistik ke Camp-camp pedalaman jumlahnya terbatas dan posisinya sedang jauh di luar pulau. Bisa dimaklumi, selain harga spare part mahal juga unit Logging yang beroperasi di lokasi tempat saya bekerja jumlahnya cukup banyak baik perusahaan Lokal maupun Nasional yang menggunakan kendaraan berat dari merk dan jenis yang kebanyakan nyaris sama sehingga kelengahan dalam pengiriman terkadang dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengambil keuntungan.

Biasanya Perusahaan kami mencarter pesawat dari perusahaan penerbangan carteran, tetapi menurut beberapa rekan dari personalia, katanya TNI AL menawarkan carteran dengan harga yang cukup miring dibanding perusahaan penerbangan carteran pada umumnya. Saya sempat berpikir, mungkin ini semua terjadi karena anggaran TNI sangat minim, sehingga untuk menambah kesejahteraan, para prajuritnya banyak yang “ngompreng” untuk cari tambahan uang rokok. Sayapun teringat pula ketika mengantar salah seorang rekan pulang cuti ke Jawa dari Bandara Sam Ratulangi dengan naik Herculles TNI AU, konon ongkosnya bisa setengah harga Airlines biasa, cuma mesti bawa nasi bungkus, maklum di Herculles kan tidak disediakan makan, apalagi pelayanan pramugari cantik.

Akhirnya malam itu saya diberitahu pihak personalia untuk mempersiapkan diri ikut pesawat yang akan mengantar gaji bulanan karyawan dan spare part besok pagi ke Pulau Mangole. Sempat terlintas dalam pikiran saya, bahwa besok adalah pengalaman pertama saya dengan pesawat yang terbang langsung menuju Pulau Mangole dan dapat merasakan bagaimana mendarat di landasan rumput dan batu karang. Besoknya pagi-pagi sekali sekitar jam 5.00 WIT saya sudah dijemput kendaraan milik perusahaan dan diantar menuju area Pangkalan Udara TNI AL Manado. Lokasi pangkalan udara TNI AL Manado merupakan enclave dari Bandara Samratulangi, posisinya cukup terpencil dan berhadapan langsung dengan Terminal Bandara , kendaraan jemputan dari perusahaan kami masuk melewati pintu tersendiri dengan penjagaan yang ketat sampai akhirnya kami tiba di Shelter pesawat.

Di situ saya bisa melihat satu unit pesawat Nomad dengan cat loreng sedang dalam pengecekan akhir, disudut sebelah kanan agak jauh dari shelter saya lihat pula ada pesawat ringan teronggok tak terurus, sepertinya pesawat sipil, soalnya dari warna cat dan tidak ditemukannya marka TNI AL menandakan itu pesawat sipil. Saya bukanlah pengamat penerbangan, tetapi saya sering membaca majalah Angkasa sejak dibangku SMA sampai Kuliah bahkan sampai kerja di pedalaman hutan Maluku. Majalah Angkasa diperoleh dengan cara berlangganan ke kantor pusat perusahaan dan dikirim setiap bulan dengan sarana pengiriman dokumen baik dengan pesawat ataupun kapal laut perintis, tetapi paling sering menggunakan kapal laut dan tak jarang majalah tersebut saya terima dalam kondisi basah karena dari kota terdekat ke Camp saya membutuhkan waktu ± 2,5 jam perjalanan laut dengan Speed boat atau Long boat.

Seorang Bintara AL mempersilahkan kami untuk berbaris satu-satu, nama kami dicocokan dengan daftar yang diberikan dari kantor, teman seperjalanan saya hanya 3 orang, satu orang teman dari bagian Repair & Maintenance (RM) dan 2 orang lagi dari bagian Industri mungkin staf keuangan, berat badan dan tas bawaan kami ditimbang dengan timbangan badan dan dihitung dengan kalkulator, sungguh berbeda sekali dibanding bila kita mau terbang menggunakan pesawat Airlines. Saya dapat memaklumi mengingat Nomad sejatinya adalah pesawat intai maritim, walaupun memiliki kemampuan angkut tetapi hanya dalam jumlah terbatas sehingga crew pesawat melakukan penghitungan ulang muatan agar tidak terjadi over load.

Kami dipersilahkan memasuki kabin pesawat, saat melewati roda pendarat sebelah kanan saya lihat tutup roda pendaratnya sepertinya banyak bekas goresan, aus atau entahlah namanya, membuat jantung sedikit dag dig dug, teringat pula bahwa konon pesawat buatan Government Aircraft Factory (GAF) Australia ini mempunyai cacat rancang sejak lahir sehingga dilego ke Indonesia dan negara jiran lainnya, malahan di negara asalnya sejak tahun 1995 pesawat ini sudah di grounded .

Dua orang mekanik pesawat menutup kembali tutup mesin yang sedari tadi terbuka kemudian memegang-megang baling-baling pesawat serta berjalan mengelilingi pesawat, dia berbicara kepada temannya dalam bahasa Jawa sambil senyum-senyum yang terdengar sangat pelan sehingga kurang dapat saya pahami, kemudian keduanya bergerak menjauh. Saya percaya bahwa semua ritual rutin yang mereka lakukan sudah lengkap sehingga tidak perlu ada perasaan was-was lagi.

Semua penumpang duduk dibangku yang saling berjauhan, sengaja saya duduk dibelakang kokpit yang bersebelahan dengan navigator supaya dapat melihat setiap kegiatan pilot dan kopilotnya. Baru kali ini saya duduk begitu dekat dengan Kokpit sehingga dapat mengamati setiap apa yang dilakukan sang Pilot dan Kopilot. Saya menghitung didalam kabin penumpang terdapat sekitar 9 sampai 10 kursi penumpang ditambah 2 kursi di kokpit, hitungan saya sudah termasuk kursi yang sengaja dilepas untuk dijadikan tempat menyimpan barang perusahaan. Kursi penumpang tidak begitu nyaman, sepertinya hanya kursi besi biasa dengan busa yang dibalut kain jok berwarna coklat terang maklum pesawat ini adalah versi militer jadi kenyamanan mungkin di nomor duakan.

Mesin pesawatpun mulai dihidupkan, tidak ada instruksi untuk menggunakan safety belt layaknya pesawat komersial, semua penumpang dianggap sudah tahu dan maklum, kemudian pesawatpun mulai menggelinding ke Run way. Dua mesin turboprop Allison 250 meraung membuat badan pesawat terasa bergetar halus, kembali hati saya sedikit menjadi ciut begitu teringat bahwa Nomad sering dijuluki “The Widow Maker” alias si pencetak janda, itu dikarenakan banyaknya kasus kecelakaan yang menimpa pesawat ini, ditambah lagi hubungan diplomatik RI dan Australia sedang hangat-hangatnya waktu itu gara-gara kasus Timtim, “Bukan mustahil spare part pesawat ini tidak pernah lagi dikirim dari Pabriknya dengan alasan politik”, pikir saya dalam hati, dan keringat dinginpun mulai membasahi baju saya.

Dalam salah satu edisi majalah Angkasa yang pernah saya baca, TNI AL menerima dua type Nomad masing-masing N22 dan N24 dan difungsikan sebagai pesawat intai maritim dan konon ada juga yang dijadikan angkutan VIP, katanya TNI AL memiliki hampir dua lusin pesawat ini walaupun hanya sebagaian saja yang serviceable. Pesawatpun mulai melaju dengan full power menggenjot kedua mesin turbopropnya diatas landasan pacu Bandara Samratulangi yang mulus dan berhasil take off dengan sempurna. Nose pesawat terangkat sedikit demi sedikit untuk mencapai ketinggian optimal dan pesawat Nomad kamipun mengudara tanpa hambatan, pesawat terbang rendah melintas diatas Teluk Manado kemudian berbelok sambil menambah ketinggian dan heading ke Selatan menuju Mangole, sungguh indah sekali pemandangan dari atas pesawat di pagi hari yang cerah itu, langit begitu jernih, pohon kelapa dan pasir putih yang terbentang memanjang sepanjang pantai memanjakan mata kami saat itu.

Sebagian besar rute penerbangan kami adalah melintasi lautan luas, dari jendela kabin saya melihat perahu dan kapal laut tampak begitu jelas terlihat, lain sekali halnya bila naik pesawat Airlines yang umumnya bermesin jet seperti Boeing 737 atau MD 82 yang terbang sangat tinggi. Di depan Navigator terlihat menggantung teropong dan tas berisi peta, memang sangat menyedihkan bahwa Pesawat Patroli Maritim sebuah negara Kepulauan yang begitu luas seperti Indonesia, hanya dilengkapi alat visual manual seperti itu, konon beberapa unit Nomad ada juga yang dilengkapi radar dari sananya, tetapi banyak yang sudah tidak berfungsi karena minimnya anggaran untuk perawatan.

Di udara mesin pesawat terdengar begitu halus, hanya sesekali terasa sedikit getaran dikursi yang kami duduki, saya lihat kedepan tampak Pilot berdialog dengan Kopilot dan sesekali membuka peta sambil mencocokan dengan GPS yang terdapat di panel kokpit. Tidak terasa waktupun berlalu begitu cepat, disini diangkasa segala kekhawatiran akan Ferformance pesawat ini hilang sirna, entah perasaan saya atau karena melihat wajah-wajah tenang para awak pesawat yang begitu profesional membuat hati saya begitu tenang.

Didepan kami mulai nampak terlihat noktah biru kehijauan yang semakin lama semakin jelas berupa pulau, pesawatpun mulai terbang merendah untuk approach persiapan mendarat, Pulau Mangole bukanlah Pulau besar, bila cuaca laut mendukung mungkin hanya dalam waktu satu hari ± 12 jam perjalanan laut kita dapat mengitari pulau ini dengan speed boat . Air strip terletak dibibir pantai kota Falabisahaya yang merupakan kota terbesar di pulau itu, kota ini menjadi ramai karena perusahaan kami membangun industri pengolahan kayu disini dan disinipun terdapat pelabuhan yang cukup besar dan dalam sehingga kapal-kapal besarpun dapat sandar langsung ke dermaga untuk loading hasil olahan kayu berupa moulding dan kayu lapis.

Dulu mantan Presiden Soeharto (Alm) yang meresmikan sendiri mulai beroperasinya pabrik pengolahan kayu ini dan beliau sempat menginap satu malam di Pulau ini untuk menikmati keindahan laut dan memencing ikan disini. Tetapi tahun 1997 terjadi gempa bumi yang hebat dan membuat infrastruktur di pulau ini banyak yang mengalami kerusakan parah, baik milik pemerintah maupun aset industri perusahaan kami, seperti bangunan perkantoran, mes, dermaga dan pabrik . Akibat lainnya dari gempa tersebut membuat ribuan karyawan dirumahkan dan perusahaan mengalami kerugian aset yang sangat besar. Beberapa sarana dan prasarana yang masih utuh kembali digunakan termasuk Air strip yang terletak di bibir pantai kota ini tetapi frekwensi penerbangan sudah tidak sepadat dahulu bahkan nyaris tidak ada, hanya satu dua pesawat saja perbulannya mendarat disini, itupun untuk membawa gaji karyawan atau dicarter perusahaan lain yang juga bergerak dalam bidang perkayuan, katanya dulu Merpati pernah menyinggahi rute ini sampai akhirnya ditinggalkan pasca gempa.

Landasan terbuat dari batu karang yang diratakan dengan bulldozer ,disana sini rumput tumbuh liar tidak terurus menutupi landasan karena minimnya pemeliharaan, mungkin imbas dari bencana gempa tadi. Pesawat Nomad kamipun mulai mengambil ancang-ancang mendarat, berputar satu kali diatas landasan dan mulai melakukan touch, roda pesawat mulai menyentuh landasan batu karang yang banyak ditumbuhi rumput, dan ketika roda mulai menyentuh landasan terasa benturan yang cukup keras membuat pesawat melonjak beberapa kali, saya lihat sayap kiri dan kanan tampak bergoyang kekiri dan kekanan, kembali image “The Widow Maker” muncul dikepala ini.

Pesawat terus meluncur dan semakin lama semakin perlahan, tanpa menghentikan mesin, pesawat berputar mendekati terminal bandara dan pintu pesawatpun dibuka, pak navigator meminta kami segera turun, Alhamdullilah, kami akhirnya sampai dengan selamat di Mangole, waktu perjalanan kuhitung sekitar 45 menitan. Terminal bandara dibuat begitu sederhana layaknya Shelter Bus Kota, diluar beberapa karyawan dengan sigap membongkar muatan pesawat dan mengisi kembali dengan muatan baru untuk dibawa ke Manado, selesai loading muatan yang sangat “kilat” itu, pintu pesawatpun kembali ditutup dan pesawat mulai berputar menuju ujung landasan dan kembali terbang mengudara meninggalkan kami yang baru saja menghirup udara Mangole, tampak roda pesawat mulai dilipat dan “ya ampun” ternyata penutup roda pendarat yang kulihat banyak goresan ketika mau naik tadi tampak tidak menutup sempurna, roda pesawat masih kelihatan menyembul dan semua berjalan begitu cepat, begitu singkat dan terasa bagaikan mimpi rasanya.

Ada keprihatinan dan keharuan, juga ada kepuasan sekaligus kebanggaan merasakan perngalaman pertama terbang dengan Nomad ini. Banyak pertanyaan muncul dibenak saya waktu itu, entah sampai kapan negara dengan garis pantai terpanjang di dunia ini dapat memilki armada pesawat patroli maritim yang canggih dan memadai serta sanggup mengawasi dan melindungi ribuan pulau dimana begitu banyak kekayaan maritim yang harus tetap terjaga. Walaupun ternyata dibalik semua keterbatasan ini, para prajurit Penerbal masih sanggup menunjukan profesionalisme dalam mengawaki Alutsista yang dipercayakan kepadanya, tanpa ada keraguan bahkan ketakutan pada wajah mereka. Masih terbayang dalam ingatan ini senyum yang menghiasi wajah para mekanik yang bertugas dengan semangat, walaupun mungkin dihati kecil mereka pasti juga menyadari, bahwa Nomad yang mereka cumbui tiap hari terlahir dengan design fault dan dijuluki sebagai “The Widow Maker”.

SEBUAH VISI BAGI SEORANG VISIONER

Suatu ketika dalam sebuah kesempatan diskusi dengan seorang rekan dari Dephan , saya lontarkan sebuah pertanyaan sederhana, “Jika kita sudah punya roket produksi Lapan dengan daya jangkau yang cukup sepadan dengan sebuah rudal jarak pendek, atau bahkan menengah, pernahkah terbayang untuk mengadopsi system kontrol pada rudal-rudal yang kita miliki, misalnya “Harpoon, Sidewinder, Maverick, atau bahkan Exocet ?” Lain hari saya diskusi dengan seorang programmer, dan hasilnya, “sungguh hal itu sangat mungkin”, benar, bahwa melakukan proses duplikasi program dengan bahasa khusus membutuhkan perangkat dan tentu saja keahlian khusus, disamping kesediaan mabes TNI untuk melepas asset-nya guna dibongkar dan di utak-atik, plus menyediakan tempat dan dana untuk kepentingan riset ini. Bukankah diawal era perang dingin, Uni Soviet memenangkan perlombaan pembuatan roket berpemandu (Peluru Kendali), dengan melakukan riset dari material dan teknisinya, dan bukan Amerika Serikat, padahal memiliki material dan enginnernya. sedangkan diabad millennium ini, sepertinya Iran dan Cina yang harus kita teladani.

Melangkah lebih jauh, dibutuhkan setidaknya empat faktor utama untuk merealisasikan visi ini yaitu Sumber Daya Manusia, Bahan baku/material, Infrastruktur dan Modal.

1. Sumberdaya Manusia (SDM)

Suatu ketika, saat saya masih duduk dibangku kuliah, saya mengikuti sebuah pertemuan yang diadakan sebuah Lembaga dengan Menpora dan Mendikbud sebagai pembicara di Bandung. Saya mengajukan sebuah pertanyaan, “mengapa hingga saat itu belum dibentuk sebuah lembaga yang bisa menjadi jembatan antara Universitas/Institut sebagai gudang ilmu dan sumberdaya manusia berkualitas dengan masyarakat dan lembaga - lembaga kemasyarakatan didalamnya? Bukan tanpa alasan saya ajukan pertanyaan itu, ketika saya mencari literatur untuk skripsi, betapa kagetnya saya, ketika saya tahu, bahwa kajian yang sedang saya susun, ternyata sudah dipelajari dan dijadikan skripsi 20 tahun sebelumnya. Padahal, jika saya tanya, seseorang diluar lingkungan Kampus, bahkan jika dia seorang Sarjana sekalipun, asal saja jurusan/fakultasnya berbeda dengan saya, kemungkinan besar orang itu tidak akan tahu, atau bahkan menganggap kajian saya aneh. Hingga saat ini setelah waktu bergulir 15 tahun, saya tetap belum melihat keberadaan lembaga itu. Padahal, jika Perpustakaan Kampus dibongkar, dan segala ilmu yang ada didalamnya dikeluarkan dan diaplikasikan didunia kemasyarakatan, niscaya putaran roda kemajuan disegala bidang, akan lebih cepat berputar.

Kembali pada kasus diatas, minimal untuk mewujudkan usaha kemandirian ini setidaknya diperlukan SDM yang memiliki kualifikasi seperti berikut :

1. Ahli Radar
2. Ahli/Programmer Computer
3. Teknisi Assembling Computer (Hardware expert)
4. Ahli Propulsi dan mesin roket.
5. Ahli mekanik, telemetri dan pemandu rocket
6. Ahli persenjataan dan bahan peledak.

Rasanya tidak sulit bagi pemerintah untuk menjaring orang-orang dengan kualifikasi seperti ini, baik dengan melirik sumber dari lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan atau mereka yang saat ini berada nun jauh diluar negeri sana atau kenapa tidak kita gali dan wadahi, kemampuan terpendam dari para hacker, yang untuk menjaringnya tentu butuh usaha ekstra, karena dari semua kualifikasi, yang akan cukup sulit dicari tentu saja programmer.

Bukankah sejarah pernah mencatat bahwa pada awal dekade 70-an pernah dibentuk sebuah program dilingkungan TNI yang bernama “Program Ganesha” dimana Pemerintah menggiring para Mahasiswa lulusan terbaik jurusan Teknik terutama dari ITB untuk mengisi kekosongan jabatan Perwira Teknik di berbagai matra TNI.

2. Bahan baku/material

Berbicara tentang rudal, tentu kita harus membicarakan dua sisi sekaligus, pertama sistem navigasi rudalnya, dan kedua sistem pemandunya. Sehingga jika bidikan kita adalah rudal udara ke udara AAM (Air to Air Missile) dan rudal udara ke permukaan AGM (Air to Ground Missile), maka yang harus direlakan untuk dibongkar dan di utak-atik adalah radar dan sistem computer pesawat tempur peluncur dan tentu saja rudalnya, sedangkan, jika yang kita bidik adalah rudal permukaan ke permukaan SSM (Surface to Surface Missile), maka yang dibutuhkan adalah perangkat radar kapal perang dan computer pemandunya, sekali lagi tentu saja rudalnya.

Berbicara tentang duplikasi perangkat, jika proses duplikasi sistem telah terlampaui, dalam konteks kekinian, pengadaan perangkat keras akan dapat disuplai dengan berbagai cara, mulai dengan memanfaatkan sumber non militer maupun jika terpaksa menggunakan sumber militer. Azasinya, perangkat keras atau hardware sistem computer baik untuk keperluan militer ataupun non militer, adalah sama, hanya programnya dan mungkin kemasannya saja yang berbeda.

3. Infrastruktur

Tercatat TNI telah memiliki beberapa infrastruktur yang jika perlu dapat dioptimalkan untuk mendukung program ini, seperti Depohar di Lanud Husen Sastranegara, Lanud Iswahyudi Madiun, Lanud Abdulrahman Saleh dan Suryadarma (TNI AU), Laboratorium Dislitbang AD, Bengpuspalad dan PT. Pindad (TNI AD), Laboratorium Dislitbang AL, Fashrakan AL dan PT. PAL atau jika berorientasi pada kemudahan dalam ujicoba, kenapa tidak laboratorium Lapan yang dipergunakan, atau jika orientasinya adalah super komputer, maka laboratorium rekayasa PT. DI (IPTN) dan LEN pilihannya.

Dari sebaran infra struktur ini, sebenarnya tidak akan sulit jika dengan sedikit keinginan saja, agar kita bisa segera bangkit dan berlari menyusul ketertinggalan, karena sebaran infrastruktur ini berarti juga sebaran sumber daya manusia, hanya tinggal memilih dan memilah, dengan kualifikasi yang ketat, membentuk kelompok kecil dari penyebaran SDM di fasilitas-fasilitas yang kita miliki, diyakini tidaklah sulit.

4. Modal

Pada saat ini, mimpi rasanya jika kita berharap kerjasama dengan pihak luar (asistensi teknis) dalam kondisi sorotan dan keterbatasan sumberdaya modal atau anggaran, belum lagi jika berhitung tentang resiko kebocoran informasi. Jadi pilihan murah meriah tapi yakin bisa diandalkan, apalagi jika bertumpu pada semangat kemandirian, adalah membentuk kelompok kecil dengan berbekal fasilitas yang ada dan semangat nasionalisme yang tinggi. Dan sesungguhnya, jika dengan didasari semangat tinggi maka celah modal masih banyak dapat kita gali, terdapat banyak sumberdaya yang menunggu untuk dimanfaatkan.

Sekali lagi adakah keinginan itu di benak para pimpinan bangsa ini, terdapat seribu jalan terbentang dihadapan, terdapat seribu sumberdaya modal sebagai harta karun yang menunggu untuk digali. jayalah negeriku, jayalah bangsaku.

Kamis, 12 Februari 2009

MILITER INDONESIA

Selamat datang di Situs kami, Situs ini memuat informasi dan tulisan yang berhubungan dengan militer Indonesia, silahkan bergabung bersama kami, kami tunggu bila ada rekan yang berminat berpartisipasi menyumbang tulisan, artikel atau informasi yang membangun, terima kasih.