Jumat, 13 Februari 2009

PENGALAMAN TAK TERLUPAKAN DENGAN NOMAD


Suatu hari saya membaca sebuah artikel di media masa tentang sumbangan satu unit pesawat Nomad dari TNI AL untuk Pemerintah Kabupaten Lamongan, konon pesawat tersebut nantinya akan dijadikan tugu hiasan demi mempercantik kota Lamongan. Sesungguhnya bagi saya sebagai seorang warga sipil biasa, ada kenangan tersendiri dengan pesawat ini. Masih terbayang dalam ingatan saya kejadian beberapa tahun silam, ketika itu untuk yang pertama kalinya saya dapat merasakan bagaimana ketangguhan pesawat Nomad TNI AL ini, serta keberanian para crew yang mengawakinya, bahkan boleh dikatakan nekad dengan mendaratkan pesawatnya di atas landasan perintis yang hanya terbuat dari batu karang yang telah diratakan di Pulau terpencil nun jauh disana “Mangole”.

Tidak ada maksud penulis untuk menyudutkan atau mengecilkan arti segenap usaha daripada Bapak-bapak Prajurit Penerbal TNI AL disana, semua penulis ceritakan berdasarkan pengalaman nyata penulis sebagai kenangan untuk dijadikan cerita bagi anak cucu penulis kelak.

Manado, pertengahan tahun 2003

Saat itu saya bekerja sebagai karyawan pada sebuah perusahaan kayu besar di Negeri ini, sebuah perusahaan raksasa milik seorang konglomerat ternama dimana unit-unit perusahaannya tersebar mulai dari wilayah Barat Negeri ini sampai jauh ke wilayah Timur. Sebagai seorang tenaga teknis dibidang kehutanan saya dipercayakan mengelola administrasi pendokumenan kayu di sebuah Camp Logging di pedalaman Pulau Mangole Maluku Utara.

Saat itu saya baru saja selesai melaksanakan cuti tahunan sekalian mengantar istri dan anak pulang kampung ke Bandung. Ketika pulang kembali ke Manado saya hanya seorang diri mengingat istri dan anak tidak ikut serta sebab istri harus mengikuti resepsi pernikahan kakaknya dulu di Bandung yang acaranya sangat mendadak sehingga saya tidak sempat hadir karena masa ijin cuti keburu habis.

Saya berangkat menuju Manado dimana kantor pusat perusahaan saya berada dengan menggunakan pesawat Airlines dari Bandara Soekarno Hatta tujuan Manado. Setibanya di Manado saya melapor ke bagian Personalia dan diarahkan menginap di Mess perusahaan untuk menunggu informasi kapal laut yang akan berlayar tujuan Mangole. Selama ini saya selalu menggunakan jalur Laut menuju Pulau Mangole yaitu lewat pelabuhan Bitung atau pelabuhan Manado dengan menggunakan kapal perintis atau kapal suplai logistik milik perusahaan, tetapi bila dengan pesawat terbang yang terbang langsung ke Mangole belum pernah saya rasakan sebelumnya.

Kebetulan saat itu ada kiriman gaji bulanan karyawan dan spare part untuk kendaraan berat yang harus segera tiba di Camp. Gaji karyawan sudah biasa dikirim menggunakan pesawat tetapi untuk spare part alat berat perusahaan sepertinya tidak mau ambil resiko lagi sehingga lebih memilih mencarter pesawat daripada dikirim via kapal laut perintis yang rentan hilang atau kecelakaan, adapun kapal suplai logistik milik perusahaan yang biasa digunakan mengantar logistik ke Camp-camp pedalaman jumlahnya terbatas dan posisinya sedang jauh di luar pulau. Bisa dimaklumi, selain harga spare part mahal juga unit Logging yang beroperasi di lokasi tempat saya bekerja jumlahnya cukup banyak baik perusahaan Lokal maupun Nasional yang menggunakan kendaraan berat dari merk dan jenis yang kebanyakan nyaris sama sehingga kelengahan dalam pengiriman terkadang dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengambil keuntungan.

Biasanya Perusahaan kami mencarter pesawat dari perusahaan penerbangan carteran, tetapi menurut beberapa rekan dari personalia, katanya TNI AL menawarkan carteran dengan harga yang cukup miring dibanding perusahaan penerbangan carteran pada umumnya. Saya sempat berpikir, mungkin ini semua terjadi karena anggaran TNI sangat minim, sehingga untuk menambah kesejahteraan, para prajuritnya banyak yang “ngompreng” untuk cari tambahan uang rokok. Sayapun teringat pula ketika mengantar salah seorang rekan pulang cuti ke Jawa dari Bandara Sam Ratulangi dengan naik Herculles TNI AU, konon ongkosnya bisa setengah harga Airlines biasa, cuma mesti bawa nasi bungkus, maklum di Herculles kan tidak disediakan makan, apalagi pelayanan pramugari cantik.

Akhirnya malam itu saya diberitahu pihak personalia untuk mempersiapkan diri ikut pesawat yang akan mengantar gaji bulanan karyawan dan spare part besok pagi ke Pulau Mangole. Sempat terlintas dalam pikiran saya, bahwa besok adalah pengalaman pertama saya dengan pesawat yang terbang langsung menuju Pulau Mangole dan dapat merasakan bagaimana mendarat di landasan rumput dan batu karang. Besoknya pagi-pagi sekali sekitar jam 5.00 WIT saya sudah dijemput kendaraan milik perusahaan dan diantar menuju area Pangkalan Udara TNI AL Manado. Lokasi pangkalan udara TNI AL Manado merupakan enclave dari Bandara Samratulangi, posisinya cukup terpencil dan berhadapan langsung dengan Terminal Bandara , kendaraan jemputan dari perusahaan kami masuk melewati pintu tersendiri dengan penjagaan yang ketat sampai akhirnya kami tiba di Shelter pesawat.

Di situ saya bisa melihat satu unit pesawat Nomad dengan cat loreng sedang dalam pengecekan akhir, disudut sebelah kanan agak jauh dari shelter saya lihat pula ada pesawat ringan teronggok tak terurus, sepertinya pesawat sipil, soalnya dari warna cat dan tidak ditemukannya marka TNI AL menandakan itu pesawat sipil. Saya bukanlah pengamat penerbangan, tetapi saya sering membaca majalah Angkasa sejak dibangku SMA sampai Kuliah bahkan sampai kerja di pedalaman hutan Maluku. Majalah Angkasa diperoleh dengan cara berlangganan ke kantor pusat perusahaan dan dikirim setiap bulan dengan sarana pengiriman dokumen baik dengan pesawat ataupun kapal laut perintis, tetapi paling sering menggunakan kapal laut dan tak jarang majalah tersebut saya terima dalam kondisi basah karena dari kota terdekat ke Camp saya membutuhkan waktu ± 2,5 jam perjalanan laut dengan Speed boat atau Long boat.

Seorang Bintara AL mempersilahkan kami untuk berbaris satu-satu, nama kami dicocokan dengan daftar yang diberikan dari kantor, teman seperjalanan saya hanya 3 orang, satu orang teman dari bagian Repair & Maintenance (RM) dan 2 orang lagi dari bagian Industri mungkin staf keuangan, berat badan dan tas bawaan kami ditimbang dengan timbangan badan dan dihitung dengan kalkulator, sungguh berbeda sekali dibanding bila kita mau terbang menggunakan pesawat Airlines. Saya dapat memaklumi mengingat Nomad sejatinya adalah pesawat intai maritim, walaupun memiliki kemampuan angkut tetapi hanya dalam jumlah terbatas sehingga crew pesawat melakukan penghitungan ulang muatan agar tidak terjadi over load.

Kami dipersilahkan memasuki kabin pesawat, saat melewati roda pendarat sebelah kanan saya lihat tutup roda pendaratnya sepertinya banyak bekas goresan, aus atau entahlah namanya, membuat jantung sedikit dag dig dug, teringat pula bahwa konon pesawat buatan Government Aircraft Factory (GAF) Australia ini mempunyai cacat rancang sejak lahir sehingga dilego ke Indonesia dan negara jiran lainnya, malahan di negara asalnya sejak tahun 1995 pesawat ini sudah di grounded .

Dua orang mekanik pesawat menutup kembali tutup mesin yang sedari tadi terbuka kemudian memegang-megang baling-baling pesawat serta berjalan mengelilingi pesawat, dia berbicara kepada temannya dalam bahasa Jawa sambil senyum-senyum yang terdengar sangat pelan sehingga kurang dapat saya pahami, kemudian keduanya bergerak menjauh. Saya percaya bahwa semua ritual rutin yang mereka lakukan sudah lengkap sehingga tidak perlu ada perasaan was-was lagi.

Semua penumpang duduk dibangku yang saling berjauhan, sengaja saya duduk dibelakang kokpit yang bersebelahan dengan navigator supaya dapat melihat setiap kegiatan pilot dan kopilotnya. Baru kali ini saya duduk begitu dekat dengan Kokpit sehingga dapat mengamati setiap apa yang dilakukan sang Pilot dan Kopilot. Saya menghitung didalam kabin penumpang terdapat sekitar 9 sampai 10 kursi penumpang ditambah 2 kursi di kokpit, hitungan saya sudah termasuk kursi yang sengaja dilepas untuk dijadikan tempat menyimpan barang perusahaan. Kursi penumpang tidak begitu nyaman, sepertinya hanya kursi besi biasa dengan busa yang dibalut kain jok berwarna coklat terang maklum pesawat ini adalah versi militer jadi kenyamanan mungkin di nomor duakan.

Mesin pesawatpun mulai dihidupkan, tidak ada instruksi untuk menggunakan safety belt layaknya pesawat komersial, semua penumpang dianggap sudah tahu dan maklum, kemudian pesawatpun mulai menggelinding ke Run way. Dua mesin turboprop Allison 250 meraung membuat badan pesawat terasa bergetar halus, kembali hati saya sedikit menjadi ciut begitu teringat bahwa Nomad sering dijuluki “The Widow Maker” alias si pencetak janda, itu dikarenakan banyaknya kasus kecelakaan yang menimpa pesawat ini, ditambah lagi hubungan diplomatik RI dan Australia sedang hangat-hangatnya waktu itu gara-gara kasus Timtim, “Bukan mustahil spare part pesawat ini tidak pernah lagi dikirim dari Pabriknya dengan alasan politik”, pikir saya dalam hati, dan keringat dinginpun mulai membasahi baju saya.

Dalam salah satu edisi majalah Angkasa yang pernah saya baca, TNI AL menerima dua type Nomad masing-masing N22 dan N24 dan difungsikan sebagai pesawat intai maritim dan konon ada juga yang dijadikan angkutan VIP, katanya TNI AL memiliki hampir dua lusin pesawat ini walaupun hanya sebagaian saja yang serviceable. Pesawatpun mulai melaju dengan full power menggenjot kedua mesin turbopropnya diatas landasan pacu Bandara Samratulangi yang mulus dan berhasil take off dengan sempurna. Nose pesawat terangkat sedikit demi sedikit untuk mencapai ketinggian optimal dan pesawat Nomad kamipun mengudara tanpa hambatan, pesawat terbang rendah melintas diatas Teluk Manado kemudian berbelok sambil menambah ketinggian dan heading ke Selatan menuju Mangole, sungguh indah sekali pemandangan dari atas pesawat di pagi hari yang cerah itu, langit begitu jernih, pohon kelapa dan pasir putih yang terbentang memanjang sepanjang pantai memanjakan mata kami saat itu.

Sebagian besar rute penerbangan kami adalah melintasi lautan luas, dari jendela kabin saya melihat perahu dan kapal laut tampak begitu jelas terlihat, lain sekali halnya bila naik pesawat Airlines yang umumnya bermesin jet seperti Boeing 737 atau MD 82 yang terbang sangat tinggi. Di depan Navigator terlihat menggantung teropong dan tas berisi peta, memang sangat menyedihkan bahwa Pesawat Patroli Maritim sebuah negara Kepulauan yang begitu luas seperti Indonesia, hanya dilengkapi alat visual manual seperti itu, konon beberapa unit Nomad ada juga yang dilengkapi radar dari sananya, tetapi banyak yang sudah tidak berfungsi karena minimnya anggaran untuk perawatan.

Di udara mesin pesawat terdengar begitu halus, hanya sesekali terasa sedikit getaran dikursi yang kami duduki, saya lihat kedepan tampak Pilot berdialog dengan Kopilot dan sesekali membuka peta sambil mencocokan dengan GPS yang terdapat di panel kokpit. Tidak terasa waktupun berlalu begitu cepat, disini diangkasa segala kekhawatiran akan Ferformance pesawat ini hilang sirna, entah perasaan saya atau karena melihat wajah-wajah tenang para awak pesawat yang begitu profesional membuat hati saya begitu tenang.

Didepan kami mulai nampak terlihat noktah biru kehijauan yang semakin lama semakin jelas berupa pulau, pesawatpun mulai terbang merendah untuk approach persiapan mendarat, Pulau Mangole bukanlah Pulau besar, bila cuaca laut mendukung mungkin hanya dalam waktu satu hari ± 12 jam perjalanan laut kita dapat mengitari pulau ini dengan speed boat . Air strip terletak dibibir pantai kota Falabisahaya yang merupakan kota terbesar di pulau itu, kota ini menjadi ramai karena perusahaan kami membangun industri pengolahan kayu disini dan disinipun terdapat pelabuhan yang cukup besar dan dalam sehingga kapal-kapal besarpun dapat sandar langsung ke dermaga untuk loading hasil olahan kayu berupa moulding dan kayu lapis.

Dulu mantan Presiden Soeharto (Alm) yang meresmikan sendiri mulai beroperasinya pabrik pengolahan kayu ini dan beliau sempat menginap satu malam di Pulau ini untuk menikmati keindahan laut dan memencing ikan disini. Tetapi tahun 1997 terjadi gempa bumi yang hebat dan membuat infrastruktur di pulau ini banyak yang mengalami kerusakan parah, baik milik pemerintah maupun aset industri perusahaan kami, seperti bangunan perkantoran, mes, dermaga dan pabrik . Akibat lainnya dari gempa tersebut membuat ribuan karyawan dirumahkan dan perusahaan mengalami kerugian aset yang sangat besar. Beberapa sarana dan prasarana yang masih utuh kembali digunakan termasuk Air strip yang terletak di bibir pantai kota ini tetapi frekwensi penerbangan sudah tidak sepadat dahulu bahkan nyaris tidak ada, hanya satu dua pesawat saja perbulannya mendarat disini, itupun untuk membawa gaji karyawan atau dicarter perusahaan lain yang juga bergerak dalam bidang perkayuan, katanya dulu Merpati pernah menyinggahi rute ini sampai akhirnya ditinggalkan pasca gempa.

Landasan terbuat dari batu karang yang diratakan dengan bulldozer ,disana sini rumput tumbuh liar tidak terurus menutupi landasan karena minimnya pemeliharaan, mungkin imbas dari bencana gempa tadi. Pesawat Nomad kamipun mulai mengambil ancang-ancang mendarat, berputar satu kali diatas landasan dan mulai melakukan touch, roda pesawat mulai menyentuh landasan batu karang yang banyak ditumbuhi rumput, dan ketika roda mulai menyentuh landasan terasa benturan yang cukup keras membuat pesawat melonjak beberapa kali, saya lihat sayap kiri dan kanan tampak bergoyang kekiri dan kekanan, kembali image “The Widow Maker” muncul dikepala ini.

Pesawat terus meluncur dan semakin lama semakin perlahan, tanpa menghentikan mesin, pesawat berputar mendekati terminal bandara dan pintu pesawatpun dibuka, pak navigator meminta kami segera turun, Alhamdullilah, kami akhirnya sampai dengan selamat di Mangole, waktu perjalanan kuhitung sekitar 45 menitan. Terminal bandara dibuat begitu sederhana layaknya Shelter Bus Kota, diluar beberapa karyawan dengan sigap membongkar muatan pesawat dan mengisi kembali dengan muatan baru untuk dibawa ke Manado, selesai loading muatan yang sangat “kilat” itu, pintu pesawatpun kembali ditutup dan pesawat mulai berputar menuju ujung landasan dan kembali terbang mengudara meninggalkan kami yang baru saja menghirup udara Mangole, tampak roda pesawat mulai dilipat dan “ya ampun” ternyata penutup roda pendarat yang kulihat banyak goresan ketika mau naik tadi tampak tidak menutup sempurna, roda pesawat masih kelihatan menyembul dan semua berjalan begitu cepat, begitu singkat dan terasa bagaikan mimpi rasanya.

Ada keprihatinan dan keharuan, juga ada kepuasan sekaligus kebanggaan merasakan perngalaman pertama terbang dengan Nomad ini. Banyak pertanyaan muncul dibenak saya waktu itu, entah sampai kapan negara dengan garis pantai terpanjang di dunia ini dapat memilki armada pesawat patroli maritim yang canggih dan memadai serta sanggup mengawasi dan melindungi ribuan pulau dimana begitu banyak kekayaan maritim yang harus tetap terjaga. Walaupun ternyata dibalik semua keterbatasan ini, para prajurit Penerbal masih sanggup menunjukan profesionalisme dalam mengawaki Alutsista yang dipercayakan kepadanya, tanpa ada keraguan bahkan ketakutan pada wajah mereka. Masih terbayang dalam ingatan ini senyum yang menghiasi wajah para mekanik yang bertugas dengan semangat, walaupun mungkin dihati kecil mereka pasti juga menyadari, bahwa Nomad yang mereka cumbui tiap hari terlahir dengan design fault dan dijuluki sebagai “The Widow Maker”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

b